Bakso Satu Milyar Rupiah - Slamet Triyanto

Tak ada aroma anyir bakso atau bawang goreng dirumah megah yang belum sepenuhnya rampung itu. Diantara bau cat dan politur, semerbak parfum agak menyengat mengiringi seorang pria berkulit gelap keluar dari kamar tidur yang besar. Tatanan rambutnya rapi, begitu pula kumisnya. Baju lengan panjang warna abu-abu dipadu celana panjang sewarna membalut tubuhnya yang gempal.
Perilakunya tampak amat santun. Setelah menyalami tamunya, diapun mengenakan sepatu kulit hitam mengkilat yang telah disiapkan dibawah sofa. Sebuah lampu robyong kristal berukuran besar tergantung diruang tamu. Dirumah mewah yang seluruh lantainya dari marmer itu, penampilan Slamet Triyanto (41) lebih menyerupai seorang eksekutif sukses di Jakarta.
"Rumah ini hasil jerih payah sayamikul selama di Jakarta," ungkap Slamet. Dengan rendah hati dia mengakui, nilai uang yang dia tanamkan dalam pembangunan rumahnya di Desa Brubuh itu, disamping rumahnya yang lain di Desa Pucung, mencapai sekitar Rp. 1 milyar.
Rumah tersebut berada di tepi jalan raya Wonogiri- Ngadirojo Jawa Tengah, seluas 1.000 meter persegi dan baru dalam tahap penyelesaian. Pagarnya tembok tinggi dengan halaman luas dan taman dibagian depan dilengkapi kandang ayam hutan sebagai simbol priayi mapan. Bangunannya nampak megah, dengan atap tinggi bergenteng beton, sedang bagian terasnya disangga tiang-tiang bulat berlapis logam stainless. Rumah ini tampak seperti istana mewah di tengah lingkungan lahan tegalan yang miskin di kanan kirinya dan rumah penduduk sekitar yang rata-rata berdinding papan.
Simbol-simbol kemewahan hidup di Jakarta bisa kita temukan dirumah Slamet. Misalnya, kolam renang dibelakang rumah serta peralatan fitness. Seperti para eksekutif lain, dia melengkapi diri dengan telpon genggam dan telepon tanpa kabel di rumah.
Di garasi yang luas tersedia tujuh mobil berkelas untuk melayani penghuni rumah, termasuk untuk masing-masing anaknya, yaitu Nuryanti (18), Hartanto (15) dan Iana Susanti (12). Untuk Slamet, ada mobil pribadi merek BMW tahun mutakhir seharga Rp.140 juta. Nomor polisinya pun spesial B 4 MI, yang bisa dibaca "BAMI" yang mengingatkan akan profesinya sebagai pedagang bakso-mie.

Kiat Pengawasan


Dia kini praktis tak lagi mengelola usaha baksonya. Dua restoran baksonya di Jakarta sejak empat tahun terakhir dia percayakan sepenuhnya kepada anak buahnya. Restoran bakso "Titoti", mengambil suku terakhir nama ketiga anaknya, miliknya, satu berlokasi di Kompleks Pokala, Jl Pasar Minggu dan yang kedua di belakang kompleks RCTI, Kebon Jeruk.
Terhadap kedua usahanya itu dia cukup mengawasi dari jarak jauh. Katanya "sebulan sekali saya ke Jakarta. Itupun bila dibuuhkan".
Dia mempercayakan sepenuhnya kepada dua anak buahnya, Samuji dan Gumbreg, sejak pembelian bahan mentah, mengolah dan memasoknya ke kedua restoran dengan kendaraan mobil dari tempat pondokan di Kotabambu. Begitupun seluruh pemasukan yang didapat setiap harinya, termasuk pengawasan 42 karyawan, seluruhnya asal Wonogiri, dan penggajian mereka.

Omzet kedua restorannya ribuan mangkuk bakso setiap hari. Setelah dipotong pengeluaran untuk modal kerja antara Rp.6,5 - 7 juta per hari, sisanya digunakan untuk menggaji karyawan, bonus, serta pengeluaran lain.
"Ibaratnya saya dipensiun oleh anak-anak. mereka bilang, "sudahlah, bapak tinggal saja dirumah, biar kami yang menjalankan usaha."Ya saya manut saja,"tuturnya.

Apakah tak terbersit rasa curiga, atau suatu saat kepercayaannya disalahgunakan? "Tidak,"tandas Slamet. Menurutnya, dua orang yang dia beri kepercayaan telah benar-benar teruji. "Saya percayakan segalanya kepada Allah. Allah yang memberi semua rezeki ini, dan Allah pula yang akan mengambil," kata Slamet sederhana. Dengan polos dia mengatakan keyakinannya, "Bila seseorang tak pernah menipu, dia juga tak akan ditipu orang lain."
Tak berarti Slamet sepenuhnya melepas pengelolaan kedua usaha restorannya di Jakarta kepada ke 42 karyawannya. Dia juga menerapkan sistem pengawasan yang khas. Setiap kali ke Jakarta kepada karyawannya dia pamit pulang ke Solo. namun selang beberapa menit dia diam-diam kembali ke restorannya. Dengan menyamar sebagai penumpang taxi, dia mengawasi gerak-gerik para karyawannya. Lalu dia terbang ke Solo.
Sesampai di Wonogiri, Slamet segera menelepon ke Jakarta dan menegur satu demi satu karyawan yang dia nilai lalai dalam bekerja. Karyawan yang ditegur pun dibuat bingung, dan menganggap juragannya punya "ilmu terawang". Dengan sistem pengawasan tradisional semacam itu terbukti para karyawannya, setia, disiplin dan bekerja sepenuh hati.

Rahasia Rasa

Nama Slamet tergolong lebih "yunior" dibidang perbaksoan, selain dua nama asal Wonogiri yang lebih dulu sukses yaitu Warman dan Widyanto (Bakso Lapangan Tembak Senayan). Padahal dia cuma mengandalkan dua restoran bakso "Titoti"nya di Jakarta itu.
Slamet agaknya salah seorang yang mendapat rezeki dalam konteks "misteri selera". Dia sendiri tak bisa menjelaskan dimana letak keistimewaan baksonya. Rahasianya? "Saya rasa biasa-biasa saja. Tak ada yang dirahasiakan,"ujarnya bersungguh-sungguh.
Satu-satunya "rahasia" dalam resep memasak bakso agar terasa enak, menurut Slamet, "asal banyak daging sapinya tentu akan enak," Takarannya, 10 Kg daging sapi dan 0,5 kg tepung sagu. Tak ada campuran lain. Slamet wanti-wanti agar jangan menggunakan bahan boraks sebagai bahan pengenyal, seperti yang pernah diributkan di Jakarta. Kedua restorannya di Jakarta rata-rata menghabiskan 2 kuintal daging sapi sehari. Disamping itu, restoran Slamet membutuhkan 80 kg ikan tenggiri per hari untuk bahan pembuatan siomay. Restorannya memang juga menjual siomay, yang katanya, "lebih enak daripada buatan Sunda,"serta mie ayam, es teler dan kacang mete.
Hal lain yang ditekankan Slamet adalah kebersihan dalam seluruh segi, kerapian dan keramahan dalam pelayanan. Itulah yang dia tekankan, bahkan sejak dia berdagang sendiri dengan mikul angkring atau gerobak dorong dan terus dia pegang sewaktu usahanya mulai berkembang di tahun 1980-an.
Waktu itu, dia mula-mula berjualan di kompleks pertokoan Duta Merlin.Setelah pusat pertokoan didekat Harmoni itu digusur, atas kebaikan hati seorang pegawai pajak,dia pindah ke depan kantor Pajak di Jalan Kemakmuran. Tergusur dari kantor Pajak, dia menggelar warung bertenda di Jl Kalibata, dan bertahan selam empat tahun disana.

Nasib Baik


SlametTriyanto niscaya tak bisa dijadikan tolok ukur bagi mayoritas penjual bakso dinegeri ini, bahkan mungki didunia, yang bisa mewujudkan impiannya mengecap hidup yang mewah berlimpah. Kalau anda percaya, ada faktor nasib baik melekat pada lelaki kelahiran Desa Pucung, Wonogiri, 28 Oktober 1956, yang pendidikannya tak tamat sekolah dasar (SD) ini.
Perjalanan hidupnya cukup panjang, dan tentu disana tersimpan perjuangan yang pahit-getir,kegigihan, keuletan disamping sifat hemat,tekun,jujur dsb. Itu dimulai pada 1971. Setelah beberapa lama mengikuti naluri agrarisnya, mencangkul disawah ayahnya, yang sempit, Slamet memutuskan mau mengadu nasib ke Jakarta. Mula-mula dia mengikuti Sarjono, kakak iparnya yang jualan bakso. Oleh Sarjono dia diberi  modal satu angkring bakso berikut dagangannya. Slamet menjajakan baksonya hanya disekitar Kampung Kotabambu. Berkat keuletannya, dua tahun kemudian, angkringnya berganti menjadi gerobak dorong yang lebih ringan.
Slamet menganggap bahwa nasib baik yang singgah padanya adalah berkat belas kasih beberapa orang. Dia mencatat nama Haji Zaksman,penduduk Kampung Kotabambu, Tomang asli, yang pertama kali memberinya pondokan gratis. Juga satpam Duta Merlin, pegawai pajak di Kantor Pajak dan warga masyarakat di Kalibata yang memberi kesempatan berdagang.



Sumber buku : Dari Pikulan ke Restoran
 By : Ardus M.Sawega

4 komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
IP
 
  • Mrican Fried Chicken © 2012 | Designed by Mrican Fried Chicken, in collaboration with Web Hosting , Blogger Templates and WP Themes